Jumat, 14 Februari 2014

Pendidikan Adalah Pemuliaan Manusia, Bukan Robotisasi (2)

Benyamin Bloom salah satu pakar yang teorinya menjadi panutan konseptor pendidikan Indonesia dengan ranah kognitif, afektif dan psikomotornya dalam bentukan Kurikulum Pendidikan Republik Indonesia hingga memasuki era kurilum 2013 ini. Bloom menjabarkan ranah kognitif dalam knowlede (pengetahuan), comprehensive (pemahaman), applicative (penerapan), analysis (analisa), synthesis (sintesa) dan evaluation (penilaian) sebagai tingkatan kemampuan akal pikiran. Pentahapan ini sudah sangat akurat diterjemahkan kurikulum kita setidaknya mulai kurikulum 1984, 1994 hingga 2004 (KBK) bahkan penyempurnaannya kurikulum KTSP. Mulai jenjang dasar hingga Perguruan Tinggi. Dan munculnya kaum cerdik cendekia bergelar Strata 1, Master hingga Doktor yang menggambarkan dominasi kapasitas kognitif, afektif dan psikomotornya jadi ikutan.
Gambaran tadi wujud dalam kapasitas pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang menonjol, dan minimal di bidang afektif sikap, kepribadian atau karakter, juga miskin kompetensi atau setidaknya tidak seimbangnya fungsi pengembangan kognitif , afektif dan psikomotor. Jadilah produk pendidikan manusia intelek, yang miskin kepribadian dan miskin beramal, atau miskin berkarya nyata untuk peradabannya.
Bloom mengemukakan aspek afektif yang diadopsi secara minimalis dalam kurikulum pendidikan kita pada beberapa tahapan, yaitu receiving (penerimaan), responding (menanggapi), valuing (menilai),organization of value (menempatkan tata nilai), dan characterizing (sikap mempribadi) sebagai tingkatan perilaku. Manusia yang penerimaannya sikapnya bagus, memberikan respon yang baik, menghargai sesuatu, dapat menghargai tata nilai dan menjiwai sikap yang mengintegral dalam keyakinan, pemikiran dan perbuatannya.  Heboh “pendidikan karakter” yang diterjemahkan pada kurikulum 2013 dengan membengkaknya jam mapel Bahasa Indonesia, PKn, sedikit bertambahnya jam Pendidikan Agama, agaknya mengarah kepada karakter dalam pengertian Nasionalisme. Cukupkah?
Islam mengkategorikan dimensi kemanusiaan  ke dalam 3 golongan, golongan orang beriman (mukminin), orang kafir (kafirin) dan orang munafik (munafikin). Iman  diterjemahkan sebagai keyakinan dalam  hati (tasydiqul bil qolbi), diucapkan dengan lisan (wa taqriru bil lisan) dan dilakukan dengan amal perbuatan (wal amalu bil arkan). Maka integrasi dan kesatuan qolbu, lisan dan amal pada jasad menjadi bukti iman seseorang yang didasarkan pada “Al haqqu mirrobbikum” kebenaran yang datang dari Robb-Tuhan Pencipta sekalian alam,penciptanya manusia. Yang maha mengetahui dan menentukan tujuan diciptannya manusia. AL hayah , ruh yang ditiupkan ke dalam diri manusia dengan banyak komponen termasuk tiga komponen diatas patut kita cermati . Betapa  tidak? Bila yang kaya mengumpul pada akal saja dapat mengakibatkan perilaku yang menyimpang. Orang tahu membantu orang lain itu baik, tetapi belum tentu dia melakukannya. Sholat sunnah itu baik , akan tetapi belum tentu kita melakukannya. Puasa sunnah itu baik, tetapi sekalipun kita diberi kemampuan, belum tentu juga kita melakukannya.
Kafir (kafara=menutupi), artinya perilaku manusia yang menutupi pengakuan kebenaran dalam hati dengan mengikrarkan hal yang berbeda dan perbuatan yang berbeda dari kebenaran. Maka orang kafir adalah orang yang tersesat karena meninggalkan cahaya kebenaran dari qolbunya.
Sedang munafiq menterjemahkan keyakinan dan perkataan yang berbeda dari perbuatan yang dilakukannya. Munafiq tidak hanya menipu orang lain atas niat perbuatannya, tapi menipu diri sendiri ketika berbuat. Dan mereka mendapatkan seburuk-buruk tempat di neraka.
Indikasi disintegrasi komponen kemanusiaan dalam Al Qur’an yang dibahasakan teori Benyamin Bloom dalam bentuk perpecahan antara fungsi kognitif,afektif dan psikomotornya. Manusia seutuhnya yang mestinya utuh afektif, kognitif dan psikomotornya, bila terpecah maka kemungkinan manusia menjadi kafir dan munafik secara organik dapat selalu terjadi.
Maka terjadilah negeri yang 85% penduduknya beragama Islam, negaranya korup. Bila kita meminjam silogisme filsafat, maka mestinya kondisi tadi mengisyaratkan Islam mengajarkan korupsi. Betapa tidak? Mayoritas penduduk muslim korup, dan logisnya yang korupsi adalah orang Islam. Bicara Islam, bicara Rasulullah SAW yang mewasiatkan AL Qur’an dan As Sunnah. Maka mari kita lihat miniatur negeri kita tercinta kita ini. Propinsi adalah miniatur negeri, kabupaten adalah miniatur propinsi, kecamatan sebagai miniatur kabupaten/kota, dan seterusnya, sehingga kampung-kampung dan keluarga kita sebagai bagian kecil negeri.
Mari kita lihat statistik “enteng-entengan” melihat kadar warna Islam pada masyarakat Islam Indonesia kita. Bila kita pakai indikator sholat, membaca  kitab suci AL Qur’an, memahami kitab, mengamalkan kitab dan mendakwahkan kitab sebagai ciri orang Islam, maka mari kita hitung.
DI kampung kita berapa persen warga yang terlihat sholat 5 waktu di masjid. Dari yang sholat 5 waktu di masjid itu berapa orang yang kontinyu membaca Al Qur’an. Darinya berapa orang yang memahami AL Qur’an . Dari orang diketahui memahami Al Qur’an berapa persen yang mengamalkannya. Dan berapa pula yang mendakwahkan amar ma’ruf nahi mungkar? Bila ciri itu yang menjadi syarat masuk surganya Allah, apakah kita termasuk? Dan berapa % akhirnya warga kampung kita yang Islam (sholat, membaca, memahami, mengamalkan dan mendakwahkan AL Quran Kitab Petunjuk Allah)??
Maka ketika Allah bukan lagi menjadi tujuan, hanya sebagai pelipur lara, manusia berlomba mencari Rupiah, dollar (UUD=ujung-ujungnya Duit), maka nyatalah anggota legislatif, eksekutif bahkan yudikatif beramai-ramai menjadi Rupiah. Dan berjamaah meninggalkan tujuan penciptaan manusia, hidup dengan petunjuk Yang Maha Pencipta dan Penentu Hukum Allah SWT. Artis jadi tuntunan, dan ulama jadi tontonan. Kebenaran disandarkan pada pendapat positif manusia, yang  berdomisili keterbatasn di dalamnya. Celah-celah hukum manusia dilanggar bersama-sama untuk mencari keuntungan sendiri. Saling mengorbankan, meninggalkan tata nilai, kejujuran dan tanggung jawab basis iman (bersatunya keyakinan, perkataan dan perbuatan).
Sangat Indah Allah membelajarkan manusia dengan sholat  5 waktu, yang takbirnya menyatukan gerak hati, pikiran, lisan dan perbuatan dalam satu kesatuan yang utuh taat tunduk pada Allah semata. Mencontoh utusannya dengan berserah diri, berupaya dengan segenap potensi untuk menjadi manusia yang dirihoi. Bukan dengan mengejar dunia, tapi menempatkan dunia ladang akhirat dengan petunjuk dan jalan yang ditentukan Sang Pencipta sekalian alam, penentu hukum, pemelihara alam semesta.
Kapan kita akan kembali menjadikan pendidikan anak manusia seiring tujuan peL: 56)nciptaannya, “tidak Aku ciptakan jenis jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Ku” (Quran surat Adzariyaat). Cukup bukti bukan ketika manusia menggunakan hukum yang lain? Sudahkan Islam di Indonesia diterjemahkan sebagaimana Rasul Muhammad SAW dan para sahabat mencontohkan?  Wallahualam bishowaab. (Abi Fatih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar